Kamis, 15 September 2011

Senja


            Senja duduk termenung seorang diri, menikmati helaian rambutnya yang ikal menerpa wajahnya karena tertiup sepoi angin. Ilalang di sekitarnya bergoyang, sesekali ujungnya tersentuhkan pada bunga dandelion yang tumbuh di selanya. Butir demi butir dandelion ikut mengabur tertiup angin. Matahari yang tengah meredup tertutup belahan bumi lain menambah pesona padang tempat senja duduk, menunggu seorang laki-laki yang ia yakin pasti akan datang menemuinya.
            Pagi berlari menerjang ilalang setinggi betisnya, membuat celana jeans panjangnya tertutup butiran dandelion yang lepas dari tangkainya. Ia tidak peduli, menengok kesana kemari mencari sosok perempuan yang tengah menunggunya. Sejenak ia berhenti, terengah, namun kemudian tersenyum. Pagi telah menemukan perempuan yang ia cari, sedang duduk memandang senja yang membuat tubuhnya menjadi siluet indah.
            “Senja!” Seru Pagi memanggil perempuan berparas manis itu.
            Senja menengok mendengar namanya dipanggil, senyuman tersungging manis di bibirnya yang cantik.
            “Kemarilah!” Pinta Senja sambil menepuk tanah berumput di samping kanannya, memberi isyarat pada Pagi untuk segera duduk di sisinya.
            Pagi segera menghampiri kekasihnya, lalu duduk di samping Senja. Sejenak mereka saling menatap dalam diam, tersenyum satu sama lain, lalu memandang matahari yang tengah terbenam. Beberapa menit semuanya hening. Hingga akhirnya mentari tergantikan oleh kelap-kelip lampu kota yang terlihat seperti manik-manik warna-warni.
            “Apa yang ingin kau sampaikan, Senja?” Pagi memulai pembicaraan.
            “Hhhh... Tidak jadi.” Jawab Senja.
            “Mengapa?” Pagi heran.
            “Aku tidak sampai hati mengatakannya padamu. Pasti kau akan tersakiti.” Ujar Senja.
            “Ayolah, Senja. Kau minta kita bertemu di sini karena kau ingin membicarakan sesuatu.” Bujuk Pagi.
            “Tidak, Pagi. Aku tidak bisa. Kau pasti akan salah paham.” Senja tetap menolak.
            “Hei, aku pasti mengerti. Percayalah.” Pagi berusaha meyakinkan.
            Sejanak Senja berfikir.
            “Baiklah.” Ujar Senja pada akhirnya.
            Pagi tersenyum, diam, menatap Senja penuh rasa penasaran.
            “Aku minta hubungan kita cukup sampai di sini.” Ujar Senja mengejutkan Pagi.
            “Apa?!”
            Senja diam, menunduk. Sedih, gelisah, takut, semuanya jadi satu dalam hatinya.
            “Apa alasanmu, Senja?” Tanya Pagi setelah mencerna segalanya.
            Senja hanya bisa menggeleng, air mata mulai menggenangi pelupuknya.
            “Apakah ada orang lain?” Pagi curiga.
            “Tidak! Tidak pernah ada orang lain.” Senja menyahut mantap.
            “Lantas?”
            “Kau akan tahu jawabannya. Tidak sekarang.” Senja berkata lirih.
            “Kapan?”
            “Besok.”
            “Besok?”
            “Iya, aku hanya meminta sejenak saja kau menjalani hidupmu tanpa aku. Hanya ini yang dapat aku lakukan untuk sedikit menolongmu.”
            “Apa maksudmu? Sebenarnya ada apa, Senja? Tolong jelaskan padaku.”
            “Akan kujelaskan semuanya besok.”
            “Kenapa tidak sekarang?” Pagi masih mendesak.
            “Belum saatnya.”
            Pagi diam, bingung harus berbuat bagaimana dan berkata apa.
            “Aku tidak bisa!” Tolak Pagi.
            “Pagi, kita harus!” Senja mengelak.
            “Senja..., kau tahu aku sangat menyayangimu. Apa aku pernah membuat kesalahan sehingga kau berniat mengakhiri hubungan kita?”
            “Aku tahu itu, akupun sangat menyayangimu. Tidak ada yang salah denganmu, segala kesalahan hanya bersumber dariku. Sudah kukatakan aku hanya meminta satu hari untuk ini.” Senja memberi penjelasan.
            “Beri aku waktu, sehari saja. Kumohon.” Sambung Senja membujuk.
            “Kau berjanji akan kembali padaku setelah itu?”
            “Aku berjanji.”
            “Tapi seandainya besok aku tidak bisa menemuimu seperti hari ini lagi, bagaimana?” Pagi ragu-ragu.
            “Tidak masalah, aku mengerti kesibukanmu.”
            “Benarkah kau akan mengerti, Senja?”
            “Tentu!”
            Senja tersenyum, disusul dengan pelukan erat Pagi.
            “Aku tidak ingin kau pergi dari hidupku.” Bisik Pagi.
            Senja mengangguk.

*          *          *

            Jam dinding berbentuk doraemon di dinding kamar Senja menunjukkan pkl 23.00. Senja belum ingin memejamkan matanya. Ia beranjak ke meja belajarnya, membuka laci, mengambil sebuah album foto lalu meletakkannya di meja belajar.
            Diusapnya album itu dengan penuh perasaan lalu dibuka lembar demi lembar. Berpuluh-puluh foto terpasang di dalamnya, disertai dengan catatan di setiap foto. Berbagai pose dengan Pagi mengingatkannya akan hubungan cinta mereka yang telah berlangsung selama 2 tahun. Segalanya berputar di ingatan Senja, seperti film. Hingga akhirnya Senja tiba di lembar terakhir dengan sebuah foto jari kelingking yang saling terikat, berlatar belakang ombak pantai dan langit biru. Senja mengambil foto itu lalu membalik, membaca catatan di belakangnya.
            Ikatan jari kelingking ini akan selalu mengingatkan kita untuk tetap setia satu sama lain. Cinta suci tanpa ada kebohongan dan pengkhianatan.. Pagi ada untuk Senja, Senja diakhiri dengan Pagi.
Kute, 14 Februari 2009
            Air mata Senja menetes lagi, ia melanggar janjinya ada Pagi. Janji untuk tidak ada kebohongan.
            Maafkan aku, Pagi. Aku berbohong karena aku mencintaimu. Aku tahu itu salah, aku hanya ingin melatihmu untuk terbiasa tanpa aku. Batin Senja pilu.
            Senja memasukkan lagi foto itu ke album. Menutup lalu memeluk erat album itu. Hingga ia berkelana dalam dunia mimpi.

*          *          *

            Senja, kau tahu aku sangat menyayangimu. Tidak ada yang lebih berarti dari kehadiranmu dalam hidupku. Kau penyemangat terhebat. Kau memberikan kasih sayang begitu besar setelah kematian orang tuaku. Kau yang membuatku kembali bangkit untuk menatap masa depan. Kau yang meyakinkanku bahwa mati adalah tujuan kita hidup.
            Senja, kau ibarat sebuat pastel yang digunakan Tuhan untuk mewarnai kanvas hidupku yang kelabu. Kau berharga lebih dari apapun di dunia ini, untukku.
            Senja, apa kau tahu aku benar-benar ingin menghabiskan hari ini bersamamu? Apa kau mengerti bahwa aku tidak mungkin selalu bisa menemanimu? Aku selalu ingin membuatmu bahagia. Maafkan aku selama ini belum sepenuhnya membahagiakan hidupmu. Percayalah, aku bahagia melihat kau bahagia.
            Senja, aku takut tidak dapat melihat senyum manismu lagi, aku takut tidak dapat memelukmu ketika kau menangis, aku takut tidak dapat mendengar suara merdumu ketika menasehatiku, aku takut tidak bersamamu lagi.
            Senja, aku mencintaimu. Selalu mencintaimu. Sampai nanti.
Dengan Sepenuh Hati

Pagi

*          *          *

            Senja berdiri gelisah di tengah padatnya Bandara Ngurah Rai. Pagi belum juga mengangkat telfonnya padahal Senja telah menguhubunginya 16 kali.
            Senja akan pergi, bersama Ayah dan Bundanya. Namun ia masih belum tenang karena belum menjelaskan itu semua pada Pagi. Sedangkan pesawat yang akan ditumpanginya berangkat satu jam lagi.
            “Bunda, aku harus menemui Pagi dulu.” Rengek Senja.
            “Bagaimana bisa? Kita berangkat 57 menit lagi, Senja.” Sahut Bunda.
            “Tapi...”
            “Jangan aneh-aneh, Senja. Kau bisa menelfonnya saja.” Sambung Ayah.
            “Tidak diangkat, Yah...” Senja hampir menangis kali ini.
            Ayah dan Bunda terlihat ragu. Sejenak berdiskusi, namun belum sempat Ayah menyampaikan keputusannya untuk Senja, Senja telah terduduk lemah, telfon genggamnay terjatuh. Ayah dan Bunda langsung menghampirinya.
            “Kenapa, Senja?” Tanya Bunda khawatir.
            Senja tidak menjawab, malah menangis, memeluk lututnya erat.
            Ayah mengambil telfon genggam Senja yang tergeletak di lantai. Membaca pesan singkat yang tertera di telfon genggam Senja, terkejut. Ayah langsung memberikannya pada Bunda. Bunda yang tak kalah terkejut setelah membaca pesan singkat itu langsung memeluk erat putri semata wayangnya.
            “Batalkan keberangkatan! Kita ke rumah Pagi, sekarang!” Ucap Ayah memutuskan.

*          *          *

            “Pagi, kau baik-baik saja?” Tanya Kak Rainy, sepupu Pagi.
            Pagi menggeleng lemah sambil tersenyum.
            “Tapi kau pucat sekali. Bertahanlah, aku sudah menelfon Dokter.”
            Lai-lagi Pagi hanya tersenyum.
            “Aku telfon Senja dulu ya.” Ujar Kak Rainy kemudian.
            Barusaja Kak Rainy mengambil handphonenya hendak menelfon Senja, Pagi sudah menahan tangan Kak Rainy.
            “Jangan Kak, aku tidak mau Senja khawatir. Aku baik-baik saja.” Ucap Pagi.
            “Baiklah.” Jawab Kak Rainy menurut.
            “Kak...”
            “Ya?”
            “Terimakasih selama ini Kakak mau menemaniku,  Kakak mau menjagaku, membimbingku. Walaupun Kakak sibuk, tapi Kakak masih menyempatkan diri untuk menengokku. Terimakasih banyak Kak, maaf aku tidak bisa membalas apapun darimu dan sering menyusahkanmu.”
            “Hei! Kau sudah kuanggap adik kandungku. Semenjak orang tuamu meninggal, aku memang telah berniat untuk menjagamu. Jangan bilang seperti itu, kau tidak pernah menyusahkanku.” Jawab Kak Rainy.
            “Aku sayang Kakak. Kak, aku titip pesan untuk Senja ya. Bilang padanya, maaf aku tidak bisa menemuinya hari ini.”
            “Aku juga menyayangimu. Akan kusampaikan padanya.”
            Setelah itu, Pagi memejamkan mata. Kak Rainy membangunkan Pagi, namun Pagi tak bergeming. Beruntung Dokter yang tadi ditelfon Kak Rainy telah tiba.
            Sesaat Dokter memeriksa keadaan Pagi. Kak Rainy menunggu dengan cemas. Setelah memastikan semuanya, Dokter menepuk bahu Kak Rainy dan menggeleng pelan. Kak Rainy mengangguk, menahan air matanya yang tak dapar terbendung.

*          *          *

            Ayah menyetir mobil agak kencang, Bunda duduk di sebelah Ayah, Senja duduk sendirian di belakang sambil menangis. Menggenggam telfon genggamnya, membaca lagi pesan singkat yang ia dapat dari Kak Rainy.
            From : Kak Rainy
            Senja, bisa kau datang ke rumah Pagi sekarang? Penyakitnya kambuh, aku sudah menelfon Dokter, ketika Dokter datang, Pagi dalam keadaan pingsan. Setelahnya... Pagi meninggal, Senja. Tabahlah. Maaf tidak bisa menelfonmu.
            Ya Tuhan, bangunkan aku dari mimpi buruk ini.

*          *          *

            Senja dan orang tuanya tiba di rumah Pagi. Bendera kuning terpasang di depan rumah, rumah yang biasanya lengang itu hari ini dipenuhi kerabat dan orang-orang yang mengenal Pagi. Senja terisak, tidak dapat mempercayai semua ini.
            Perlahan ia masuk, mencari sosok Kak Rainy di tengah keramaian pelayat. Ayah dan Bunda ada di samping Senja.
            “Tante, Om, Senja.” Sapa seorang gadis bermata sembab yang terlihat sedih.
            “Rainy.” Balas Bunda.
            “Yang sabar ya sayang.” Ucap Bunda setelah memeluk Kak Rainy yang telah dikenalnya satu tahun yang lalu.
            Kak Rainy mengangguk di pelukan Bunda.
            “Senja.” Panggil Kak Rainy setelah melepaskan pelukan Bunda. Ia memeluk Senja yang sedari tadi hanya diam.
            “Ini nyata, Kak?” Tanya Senja menahan tangis.
            “Yang sabar sayang.”
            “Aku ingin melihatnya.”
            “Ayo masuk.” Kak Rainy melepaskan pelukannya pada Senja lalu menuntunnya ke dalam. Ayah dan Bunda berbincang dengan kerabat Pagi yang lain yang juga telah dikenalnya setahun lalu.
            Senja tidak mempercayai penglihatannya, sesosok tubuh yang pucat pasi tertutup secarik kain membuatnya segera berlari menghampirinya.
            “Pagi...” Panggil Senja sambil mengusap pipi Pagi yang dingin.
            “Sayang maafkan aku, kenapa kau diam? Kau marah karena aku belum memberi penjelasan padamu ya?” Sambungnya walau ia tahu pertanyaannya tidak akan dijawab.
            “Aku minta maaf ya... Aku harus pindah ke Jogja bersama Ayah dan Bunda. Aku meminta hubungan kita berakhir karena aku ingin kau terbiasa menjalani kehidupanmu tanpaku. Ternyata...” Senja tidak dapat lagi melanjutkan kalimatnya. Air matanya tumpah begitu deras. Kak Rainy yang masih di samping Senja mengusap bahu Senja erat, berusaha menguatkan Senja.
            “Tadi, Pagi sempat titip pesan untukmu. Dia bilang, maafkan aku karena aku tidak dapat menemuimu hari ini.” Ujar Kak Rainy pada Senja.
            Senja terisak. Ia mendekat ke telinga pagi. Berbisik.
            “Aku mengerti. Aku mengerti,Pagi.”
           
*          *          *

            Pemakaman sudah sepi, tinggal Senja sendiri di samping pusara Pagi. Angin bertiup agak kencang, membuat bunga-bunga kenanga berjatuhan tepat di atas pusara Pagi.
            “Seharusnya semalam kita tetap bersama, agar aku bisa menemanimu di hari terakhirmu. Kenapa kau tidak pernah menceritakan akan penyakitmu? Aku kecewa Pagi. Aku kecewa karena aku tidak bisa menyemangati dan menguatkanmu dalam sakitmu. Maafkan aku. Sekarang, tenanglah di sana, aku tau kau akan mendapat tempat di sisi-Nya. Aku percaya Tuhan menyayangimu. Aku akan mengenangmu, kau yang tercinta, akan selalu ada dalam hatiku. Selamat jalan pagi.”
            Senja melangkah meninggalkan makam. Ketika itu angin berhembus, membuat satu dari dua bunga dandelion di sampingnya terbang, hanya satu. Yang satu lagi, masih menunggu angin selanjutnya untuk dapat menyusul dandelion yang telah terbang lebih dulu.
            Senja tersenyum melihatnya.
            Aku akan menyusulmu suatu saat nanti,Pagi. Sampai bertemu lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar